Sesal Selalu Datang Terlambat
Yang datang lebih awal hanya hayalan agar hidup ini lekas membaik dari hari ke hari. Sementara untuk menyenangkan hati dari malaikat terbaik sejagat raya acap kali tak bisa kita wujudkan. Manusia macam apa kita ini.
Mama bergerutu panjang lebar di dekat tungku api. Dari jauh telingamu menangkap bila Mama tengah mengeluh tentang stok kayu bakar yang telah habis. Di kampung kayu api jadi primadona untuk memasak. Berbeda dengan di rumah dari pembaca Medium yang barangkali memakai kompor gas atau kompor listrik.
Selama seminggu memang hujan tak pernah berhenti, kamu kesulitan untuk mencari kayu api. Ocehan dari Mama seperti isyarat agar kamu dapat mencari kayu api. Kamu anak yang keterlaluan bila memilih acuh tak acuh.
Kamu pun angkat kaki dari rumah. Mengambil parang yang tergantung di tempat Papa biasa menyimpannya. Tanpa mengajak sahabat kecil yang lain, kamu malah memilih berangkat seorang diri.
Belakangan ini, kamu sering berujar pada orang-orang sekitar bila sekarang kamu telah jadi jagoan, tak takut kalau jalan tengah malam seorang diri. Padahal kau hanya “omong besar”, mentalmu tak segarang omonganmu.
Di dalam perjalanan, kamu berhenti sejenak, sahabat kecilmu yang lain tengah berkumpul di lapangan sepak bola. Mereka sedang kebingungan, jumlah pemain tidak cukup untuk dibagi ke dalam dua tim. Jumlahnya…