Articles

BRAND IS NOT FOR EVERY BUSINESS. Tidak Semua Bisnis Bisa Bertransformasi… | by Nisaul Aulia | Aug, 2024

0
Please log in or register to do it.


Tidak Semua Bisnis Bisa Bertransformasi Menjadi Brand Yang Strategis

Seri Catatan Refleksi 12 Tahun Menjadi Pengabdi Brand Strategy

Bagian 1 — Part 1 — Brand Sebagai Strategy Jangka Panjang

Hampir di setiap proses pembangunan brand selalu diawali dengan inspirasi untuk menjadi brand yang besar dan kuat. Setiap bisnis ingin menjadi brand seperti Nike yang melekat dengan semua orang yang ingin menjadi atletis, seperti Starbucks yang menjadi simbol kaum dan kehidupan urban, atau Apple yang menjadi ikon besar kemajuan teknologi dan peradaban. Bisa juga ingin menjadi seperti Airbnb sebagai platform digital kebutuhan penginapan yang praktis, atau Spotify yang mendisrupsi industri musik dan mematikan gairah aktivitas pengunduhan musik ilegal. Tentu yang diimpikan dari semua inspirasi tersebut adalah untuk dapat memiliki loyalis yang selalu memuja dan suka rela menggelontorkan uang untuk melakukan transaksi. Produk paling nyeleneh pun masih bisa disambut hangat oleh para pelanggan brand-brand ini. Iklan-iklan brandnya juga tidak seramai iklan-iklan bisnis lainnya, tapi gaung brandnya masif dan organik. Usaha brand-brand ini untuk menghasilkan revenue dan laba berlipat terkesan effortless dan efisien. Bagian yang terakhir ini barangkali menjadi motivasi sesungguhnya bagi pelaku bisnis untuk memiliki brand yang kuat dan keren. Oleh karenanya, mentransformasikan bisnis menjadi brand dirasa adalah solusi, kebutuhan dan keharusan yang penting. Tapi sayangnya, tidak semua bisnis bisa bertransformasi menjadi brand, apalagi menjadi brand sekuat Nike, Starbucks dan Apple.

Interbrand: Best Global Brand 2023

Meskipun Starbucks sedang dilanda krisis karena diboikot publik akibat dukungan politik perusahaan yang menaunginya pada perang Israel dengan Palestina, namun belum satupun brand lain mampu mengisi kekosongan posisi simbol kaum dan kehidupan urban tersebut. Atau contoh lain seputar boikot ini, berhenti membeli dan menkonsumsi McDonald adalah wujud dan menunjukkan sebuah pengorbanan atas pilihan dukungan. Sementara, dalam KBBI makna “berkorban” adalah menyatakan kebaktian, kesetiaan, dan sebagainya; menjadi korban; menderita (rugi dan sebagainya); atau memberikan sesuatu sebagai korban. Itu artinya, rela merasa rugi dengan tidak mengkonsumsi McDonald demi mendukung Palestina. Kenapa bisa demikian?

Di luar menjadi pengikut boikot atau tidak, fenomena ini menarik jika diulik dari perspektif brand. Bagaimana bisa sebuah boikot juga bermakna berkorban, apalagi yang berkorban merasa rela menanggung kerugian? Bagi pelanggannya, berpisah dengan brand yang sudah melekat dengan mereka selama ini dianggap sebuah kerugian. Hanya brand yang kuat yang dapat menciptakan rasa rugi bagi pelanggannya jika berhenti membeli dan mengkonsumsi produk dari brand tersebut. Inilah the ultimate goal of building a brand, tapi tidak semua bisnis bisa mencapai ini. Bukan karena kompetisi dan dinamika industri, tetapi lebih kepada kesiapan dari bisnis itu sendiri.

Lalu, kenapa tidak setiap bisnis mampu mencapai posisi sebagai brand yang kuat? 12 tahun perjalanan saya menjadi pengabdi brand strategy — sebagai pembelajar, meramu-ramu metodologi dan framework hingga mendampingi puluhan rekan klien menyusun brand strategy — tidak semua brand strategy yang disusun dapat mengantarkan bisnis tersebut menjadi brand yang kuat. Saya mencatat beberapa hal fundamental yang menjegal transformasi bisnis menjadi brand yang strategis.

Kebutuhan untuk menyusun brand strategy paling banyak muncul ketika bisnis menghadapi berbagai kendala terutama kendala penjualan. Ketika produk yang ditawarkan tidak kunjung laku, sementara target market lebih memilih produk dari brand lain, pada kondisi tersebut bisnis terdorong untuk menyusun brand strategy dengan asumsi brand strategy dapat menciptakan added value bagi target market dan pelanggan sehingga lebih memilih produk yang ditawarkan tersebut. Kondisi lainnya yang mendorong bisnis untuk menyusun brand strategy adalah ketika butuh meningkatkan akuisisi pelanggan dengan memperluas target market. Bisnis mencoba menarget market baru, terutama market yang belum aware terhadap kehadiran produknya. Inisiatif seperti ini biasanya berangkat dari asumsi bahwa jumlah existing market tidak mencukupi pemenuhan target penjualan. Brand strategy diharapkan hadir untuk memperkenalkan produk dengan cara yang paling kreatif dan menggugah. Pada kondisi seperti ini, bisnis — dalam hal ini para business owner atau pemegang keputusan — memiliki ekspektasi agar strategi yang susun bersifat praktis dan tactical sehingga dapat memberi dampak cepat terhadap performa penjualan.

Ketika brand dipahami demikian, tidak jarang revenue jangka pendek baik bulanan maupun revenue per kuartal dipandang sebagai final indicator keberhasilan strategi brand yang dijalankan. Jika indikator tersebut tidak terpenuhi, bisnis akan mereview kembali bahkan mengubah strategi yang akan dijalankan. Bisnis pada akhirnya menjalankan strategi yang tidak konsisten; berubah-ubah mengikuti performa penjualan jangka pendek. Oleh karenanya, ketika berkomunikasi, target market dan pelanggan disuguhi pola permainan yang berubah-ubah, identitas yang berubah-ubah, sehingga sulit untuk membangun persepsi yang jelas. Produk menjadi satu-satunya hal konsisten yang dilihat oleh market dan pelanggan, sehingga bagi market dan pelanggan tersebut brand tidak lebih dari sebatas komoditas produk yang fungsional. Dinamika seperti inilah yang mengagalkan bisnis bertransformasi sebagai brand yang kuat.

Brand strategy yang baru disusun dan dijalankan sulit diandalkan untuk bisa langsung mengatasi tantangan-tantangan jangka pendek yang dihadapi bisnis, karena brand tidak dapat memenuhi janji-janji instan, menunjukkan dampak cepat dan melesat. Brand is a long-run game yaitu sebuah pilihan strategi dan cara bermain yang menciptakan efek jangka panjang terhadap bisnis. Sebagai sebuah long-run game, bukan selalu berarti bahwa transformasi bisnis menjadi brand harus membutuhkan waktu yang lama. Waktu adalah tolok ukur yang sangat relatif bagi setiap jenis bisnis, industri, kompetisi dan juga kompetensi serta sumber daya masing-masing bisnis.

Jika disusun dan dirancang dengan komprehensif, sebuah brand strategy mampu menunjukkan proyeksi target jangka panjang dan dapat diturunkan ke dalam beberapa milestones target. Salah satu karakteristik target jangka panjang yang dapat diproyeksikan oleh brand strategy adalah berupa Winning Perception, yaitu titik sukses brand ketika terbangunnya persepsi tertentu secara kuat dan mendalam pada target market dan pelanggan. Dalam kondisi tersebut, bisnis telah bertransformasi menjadi brand yang kuat karena kemampuannya menghadirkan makna yang relevan dan kuat bagi setiap target market dan pelanggan dan memiliki dasar customer-brand relationship yang mendalam. Kondisi seperti inilah yang menjadi generator terhadap revenue dan efisiensi terhadap usaha dan biaya pemasaran bisnis. Tentu winning perception harus ditentukan dan ditemukan atas dasar-dasar yang komprehensif dengan memahami target market secara mendalam dan kompetisi serta industri secara menyeluruh. Kapan brand akan mencapai titik winning perception tersebut juga dapat diproyeksikan lewat berbagai variabel pengukuran seperti kekuatan sumber daya, pilihan inisiatif dan aktivitas, ruang dan momentum serta pendekatan tata kelola brand.

Mentransformasikan bisnis menjadi brand yang kuat adalah persoalan menemukan dan mencapai winning perception yang merupakan strategi jangka panjang. Ketika memahami brand sebagai strategi jangka panjang, bisnis akan melihat revenue dan profit berkala setelah brand strategy dijalankan sebagai indicator of progress, bukan sebagai final goal. Sebab membangun brand itu seperti lari maraton yang dibagi menjadi beberapa etape; seperti body building yang membutuhkan training menu yang tepat dan konsistensi yang tinggi. Namun, dengan brand strategy, bisnis akan memiliki North Star yang menunjukkan arah dan memberikan kepercayaan diri bagi pemegang keputusan dan tim yang menjalankan.

bersambung…

Bagian 1 — Part 2 — Brand Itu Persoalan Relationship



Source link

91 ,club,CUSTOMER' care HELPLINE. number(❽❽❷❽❷❻❼❺❸❾ ) 08828267539 ????????//// 07795121170//CALL Me. 91 ,club,CUSTOMER' care HELPLINE. number(❽❽❷❽❷❻❼❺❸❾ ) 08828267539 ????????//// 07795121170//CALL Me. jopl - Ind Win7
The Tao of Photography. 道德經 The Tao Te Ching is a classic… | by João Paglione | Aug, 2024
Ads by AdZippy

Your email address will not be published. Required fields are marked *